Laporan: Aswad Syam, Bone
SANREGO sudah tidak asing lagi bagi warga Bone. Kayu yang diyakini memiliki “kedahsyatan” meningkatkan vitalitas pria, sudah lama menjadi buruan berbagai kalangan. Bagaimana awalnya hingga Sanrego terkenal ke seantero tanah air?
ASAP sesekali mengepul dari mulutnya saat menjawab setiap pertanyaan penulis.
Malah, ketika mulai menceritakan kisah penemuan kayu Sanrego, lelaki yang sudah berusia senja ini, tidak memedulikan lagi rokoknya yang sudah di ujung jarinya. Itulah Andi Patawari, generasi kelima keturunan Arung Sanrego.
Ditemui di rumahnya di Desa Tompong Patu Kecamatan Kahu, Patawari berkisah bahwa kayu Sanrego pertama kali ditemukan oleh kuda Arung Sanrego. Kuda jantan yang digelari “Bolong Sanrego” tersebut, secara tidak sengaja menggigit sebatang pohon yang menancap di atas batu.
Seketika itu juga, kejantanan Bolong Sanrego “berontak”. Secara kebetulan di sekitar lokasi juga sedang merumput 41 ekor sapi betina. Maka, Bolong Sanrego pun melampiaskan birahinya dengan menggilir ke-41 sapi betina tadi.
Tingkah Bolong Sanrego tidak lepas dari perhatian Arung Sanrego. Tak ingin penasaran, Arung Sanrego pun mencungkil sebagian batang kayu tersebut dan membawanya pulang.
Saat tiba di rumah, Arung Sanrego mengambil cungkilan kayu itu dan merendam di air. Saat air itu diminumkan ke kucing, sang kucing langsung birahi. Demikian pula saat diminumkan ke seekor anjing.
Arung Sanrego kemudian memberikan kayu itu ke anaknya, Bangkung Petta Tareng. Menurut Patawari, Bangkung Petta Tareng, juga memiliki 41 istri, dan setiap istrinya dikarunai seorang anak, kecuali istri pertamanya.
Patawari kembali berkisah, Bangkung Petta Tareng kemudian bersumpah kalau dirinya tak akan dikubur sebelum sempat memberi keturunan kepada istri pertamanya. Saat wafat, Bangkung Petta Tareng kemudian dimandikan dan siap-siap dikafani.
Namun, keajaiban terjadi. Alat vitalnya tiba-tiba “bangun”. Orang sekampung kemudian menggantung kelambu dan menyilakan permaisuri masuk. Usai menjalankan hajatnya, permaisuri kemudian keluar. Orang sekampung menyaksikan alat vital Bangkung Petta Tareng kembali “tidur”.
“Permaisuri kemudian benar-benar hamil. Sembilan bulan kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama I Ladica Puang Makuasa,” tutur Patawari sambil membuang puntung rokoknya di asbak.
Patawari sendiri mengaku belum pernah melihat wujud asli kayu yang bernama Sanrego tersebut. Tapi yang jelas kata dia, kayu tersebut tumbuh di perbukitan tempat Arung Sanrego biasa memberi makan kudanya. Kayu tersebut lanjut Patawari, biasanya tumbuh dan berakar kuat di batu.
Diburu Orang India
Benar atau tidaknya cerita Patawari, hanya waktu jua yang akan membuktikannya. Tapi satu yang pasti, “kedahsyatan” kayu Sanrego yang dapat membuat lelaki perkasa di tempat tidur, sudah benar-benar terkenal ke seantero jagat. Tidak heran jika bukan hanya orang Jakarta yang datang mencarinya, melainkan juga dari India.
Padahal menurut Patawari, khasiat kayu tersebut bukan hanya untuk hubungan badan, tapi juga untuk bekerja. “Banyak orang yang meminum hasil rendaman kayu tersebut, kemudian dicampur es, sebelum turun ke sawah. Katanya, mereka jadi lebih kuat mencangkul,” ujar Patawari.
Awaluddin, putra Andi Patawari yang menemani penulis ke pusat tumbuhnya Sanrego, mengungkapkan bahwa banyak orang dari luar Sulsel yang pernah datang ke kampungnya untuk mencari kayu Sanrego tersebut. Orang-orang tersebut berasal dari Jakarta, Surabaya, bahkan ada yang datang khusus dari India.
“Kami tidak menjual kayu ini. Kami hanya meminta kepada mereka, agar kayu ini mujarab, sebaiknya menukar dengan pembeli ayam pada malam Jumat,” ungkap Awaluddin.
Sanrego sendiri sebenarnya nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kahu, letaknya sekitar 115 kilometer dari Kota Watampone, atau sekitar 15 kilometer dari Palattae, ibu kota Kahu. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Tompong Patu.
Andi Patawari, tokoh masyarakat setempat mengatakan, Sanrego berasal dari kata sanreseng menre ri Gowa. Pada saat itu kata Patawari, Gowa masih menancapkan kuku kekuasaannya di Tana Bone, sehingga raja yang ditempatkan di Bone, harus selalu menghadap ke kerajaan Gowa. Dan, penghadapan raja baru sah apabila disertai Arung Sanrego.
Kayu Sanrego, tumbuh di atas batu yang bersusun dua, penduduk setempat menyebutnya batu sitoppoe. Lokasi ini berada sekitar lima kilometer dari jalan poros desa, tepatnya di perbatasan Sanrego Kecamatan Kahu dengan Desa Lamoncong Kecamatan Bontocani.
Untuk mencapai lokasi ini, harus menempuh medan berat. Di musim hujan, daerah ini hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Menggunakan sepeda motor juga memungkinakan. Cuma, harus ekstra hati-hati karena jalanannya sangat licin.
Setelah itu, motor harus diparkir, karena harus melewati sebuah sungai. Selanjutnya, perjalanan mesti dilakukan dengan jalan kaki karena tanjakannya cukup panjang, sekira 300 meter. Dari seberang sungai, dua buah batu bersusun yang di atasnya ditumbuhi tanaman rimbun, sudah terlihat.
Kepada penulis, Awaluddin menunjukkan bahwa kayu itulah yang dimaksud dalam kisah “Bolong Sanrego”. Pohon kayu tersebut hampir sama dengan tananaman perdu lainnya yang tumbuh liar. Hanya saja, tanaman ini punya keistimewaan, karena akarnya mencengkram kuat batu bersusun dua tersebut. Di bagian batangnya, ada bekas parang.
Warga setempat memberitahu, kalau seluruh kayu di Sanrego punya khasiat. Namun, kayu tersebut harus diberikan langsung keturunan Arung Sanrego.
Pernah ada kejadian unik. Tiang rumah Andi Patawari yang berwarna hitam, dicungkil pisau. “Mungkin pencungkilnya mengira bahwa tiang rumah saya itu terbuat dari kayu Sanrego,” ungkap Patawari sambil memperlihatkan bekas cungkilan pisau di tiang rumahnya. (*)
Source: Fajar Online
SANREGO sudah tidak asing lagi bagi warga Bone. Kayu yang diyakini memiliki “kedahsyatan” meningkatkan vitalitas pria, sudah lama menjadi buruan berbagai kalangan. Bagaimana awalnya hingga Sanrego terkenal ke seantero tanah air?
ASAP sesekali mengepul dari mulutnya saat menjawab setiap pertanyaan penulis.
Malah, ketika mulai menceritakan kisah penemuan kayu Sanrego, lelaki yang sudah berusia senja ini, tidak memedulikan lagi rokoknya yang sudah di ujung jarinya. Itulah Andi Patawari, generasi kelima keturunan Arung Sanrego.
Ditemui di rumahnya di Desa Tompong Patu Kecamatan Kahu, Patawari berkisah bahwa kayu Sanrego pertama kali ditemukan oleh kuda Arung Sanrego. Kuda jantan yang digelari “Bolong Sanrego” tersebut, secara tidak sengaja menggigit sebatang pohon yang menancap di atas batu.
Seketika itu juga, kejantanan Bolong Sanrego “berontak”. Secara kebetulan di sekitar lokasi juga sedang merumput 41 ekor sapi betina. Maka, Bolong Sanrego pun melampiaskan birahinya dengan menggilir ke-41 sapi betina tadi.
Tingkah Bolong Sanrego tidak lepas dari perhatian Arung Sanrego. Tak ingin penasaran, Arung Sanrego pun mencungkil sebagian batang kayu tersebut dan membawanya pulang.
Saat tiba di rumah, Arung Sanrego mengambil cungkilan kayu itu dan merendam di air. Saat air itu diminumkan ke kucing, sang kucing langsung birahi. Demikian pula saat diminumkan ke seekor anjing.
Arung Sanrego kemudian memberikan kayu itu ke anaknya, Bangkung Petta Tareng. Menurut Patawari, Bangkung Petta Tareng, juga memiliki 41 istri, dan setiap istrinya dikarunai seorang anak, kecuali istri pertamanya.
Patawari kembali berkisah, Bangkung Petta Tareng kemudian bersumpah kalau dirinya tak akan dikubur sebelum sempat memberi keturunan kepada istri pertamanya. Saat wafat, Bangkung Petta Tareng kemudian dimandikan dan siap-siap dikafani.
Namun, keajaiban terjadi. Alat vitalnya tiba-tiba “bangun”. Orang sekampung kemudian menggantung kelambu dan menyilakan permaisuri masuk. Usai menjalankan hajatnya, permaisuri kemudian keluar. Orang sekampung menyaksikan alat vital Bangkung Petta Tareng kembali “tidur”.
“Permaisuri kemudian benar-benar hamil. Sembilan bulan kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama I Ladica Puang Makuasa,” tutur Patawari sambil membuang puntung rokoknya di asbak.
Patawari sendiri mengaku belum pernah melihat wujud asli kayu yang bernama Sanrego tersebut. Tapi yang jelas kata dia, kayu tersebut tumbuh di perbukitan tempat Arung Sanrego biasa memberi makan kudanya. Kayu tersebut lanjut Patawari, biasanya tumbuh dan berakar kuat di batu.
Diburu Orang India
Benar atau tidaknya cerita Patawari, hanya waktu jua yang akan membuktikannya. Tapi satu yang pasti, “kedahsyatan” kayu Sanrego yang dapat membuat lelaki perkasa di tempat tidur, sudah benar-benar terkenal ke seantero jagat. Tidak heran jika bukan hanya orang Jakarta yang datang mencarinya, melainkan juga dari India.
Padahal menurut Patawari, khasiat kayu tersebut bukan hanya untuk hubungan badan, tapi juga untuk bekerja. “Banyak orang yang meminum hasil rendaman kayu tersebut, kemudian dicampur es, sebelum turun ke sawah. Katanya, mereka jadi lebih kuat mencangkul,” ujar Patawari.
Awaluddin, putra Andi Patawari yang menemani penulis ke pusat tumbuhnya Sanrego, mengungkapkan bahwa banyak orang dari luar Sulsel yang pernah datang ke kampungnya untuk mencari kayu Sanrego tersebut. Orang-orang tersebut berasal dari Jakarta, Surabaya, bahkan ada yang datang khusus dari India.
“Kami tidak menjual kayu ini. Kami hanya meminta kepada mereka, agar kayu ini mujarab, sebaiknya menukar dengan pembeli ayam pada malam Jumat,” ungkap Awaluddin.
Sanrego sendiri sebenarnya nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kahu, letaknya sekitar 115 kilometer dari Kota Watampone, atau sekitar 15 kilometer dari Palattae, ibu kota Kahu. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Tompong Patu.
Andi Patawari, tokoh masyarakat setempat mengatakan, Sanrego berasal dari kata sanreseng menre ri Gowa. Pada saat itu kata Patawari, Gowa masih menancapkan kuku kekuasaannya di Tana Bone, sehingga raja yang ditempatkan di Bone, harus selalu menghadap ke kerajaan Gowa. Dan, penghadapan raja baru sah apabila disertai Arung Sanrego.
Kayu Sanrego, tumbuh di atas batu yang bersusun dua, penduduk setempat menyebutnya batu sitoppoe. Lokasi ini berada sekitar lima kilometer dari jalan poros desa, tepatnya di perbatasan Sanrego Kecamatan Kahu dengan Desa Lamoncong Kecamatan Bontocani.
Untuk mencapai lokasi ini, harus menempuh medan berat. Di musim hujan, daerah ini hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Menggunakan sepeda motor juga memungkinakan. Cuma, harus ekstra hati-hati karena jalanannya sangat licin.
Setelah itu, motor harus diparkir, karena harus melewati sebuah sungai. Selanjutnya, perjalanan mesti dilakukan dengan jalan kaki karena tanjakannya cukup panjang, sekira 300 meter. Dari seberang sungai, dua buah batu bersusun yang di atasnya ditumbuhi tanaman rimbun, sudah terlihat.
Kepada penulis, Awaluddin menunjukkan bahwa kayu itulah yang dimaksud dalam kisah “Bolong Sanrego”. Pohon kayu tersebut hampir sama dengan tananaman perdu lainnya yang tumbuh liar. Hanya saja, tanaman ini punya keistimewaan, karena akarnya mencengkram kuat batu bersusun dua tersebut. Di bagian batangnya, ada bekas parang.
Warga setempat memberitahu, kalau seluruh kayu di Sanrego punya khasiat. Namun, kayu tersebut harus diberikan langsung keturunan Arung Sanrego.
Pernah ada kejadian unik. Tiang rumah Andi Patawari yang berwarna hitam, dicungkil pisau. “Mungkin pencungkilnya mengira bahwa tiang rumah saya itu terbuat dari kayu Sanrego,” ungkap Patawari sambil memperlihatkan bekas cungkilan pisau di tiang rumahnya. (*)
Source: Fajar Online